Laut Masih Menjadi 'Raksasa Tidur'

Sebagai negara bahari, kondisi dunia maritim kita masih sangat memprihatinkan. Padahal sebagai sumber daya hayati, laut memberikan peluang amat besar untuk menyejahterakan masyarakat. Di tengah krisis ekonomi yang melanda bangsa ini, mengeksplorasi kekayaan laut memang merupakan salah satu cara untuk bisa secepatnya keluar dari lilitan kemiskinan.

Keberadaan Departemen Kelautan dan Perikanan memang bisa dikatakan sebagai salah satu upaya untuk mengoptimalkan pemanfaatan kekayaan laut itu. Namun, apalah artinya sebuah departemen pemerintah jika tidak bisa mengakomodir dan mengarahkan bangsa ini untuk bisa memoles dunia maritim menjadi lebih cantik.

Kita bisa memotret keberadaan sektor maritim Indonesia yang masih memilukan. Lihat saja kebanyakan nelayan indonesia, yang sungguh masih sangat tradisional. Jangankan menggunakan data satelit, kebiasaan pergi melaut lebih dari sehari saja -yang berarti lebih luas lagi menjelajah samudera- tak banyak pelakunya. Bisa dikatakan hanya para nelayan dari Bagan Siapi-api, Pekalongan (Jawa Tengah), dan Makassar (Sulawesi Selatan), yang gemar melaut berhari-hari.

Selain keterbatasan teknologi seperti kapal yang sederhana, cadangan bahan bakar yang tidak mencukupi, dan kebiasaan melaut hanya sehari (one day fishing), nelayan tradisional masih belum beranggapan bahwa laut itu luas dan menyimpan “harta karun tak terhingga”. Tidaklah mengherankan kalau nelayan Indonesia amat ketinggalan dibanding nelayan-nelayan asing lainnya.

Di Jepang misalnya, ilmu menangkap ikan dengan satelit sudah dikembangkan negara tersebut selama lebih dari 20 tahun. Di kapal-kapal penangkap ikan mereka yang menjelajah ke seluruh samudera dunia, bisa dijumpai berbagai peralatan untuk mengakses data satelit yang sudah selengkap stasiun bumi mini. Dengan bekal itulah para nelayan Jepang bisa dikatakan selalu pulang dengan memuaskan. Peralatan serupa kini juga tersedia pada kapal-kapal Thailand dan Taiwan yang suka mencuri ikan di kawasan Indonesia.

Sejak tahun 2002, Indonesia melalui Tim Produksi Zona Potensi Penangkapan Ikan dari Pusat Pengembangan Penelitian dan Teknologi Penginderaan Jauh, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) mulai memperkenalkan penggunaan informasi zona potensi penangkapan, alat bantu navigasi GPS (Global Positioning System), dan fish finder untuk mengakuratkan lokasi ikan saat di laut. Tinggal bagaimana program tersebut dikembangkan lebih lanjut melalui kerjasama dengan pemerintah pusat, perguruan tinggi, swasta, LSM, dan juga kelompok nelayan.

Pertanyaan yang kemudian muncul, mengapa potensi ekonomi kelautan yang kemudian besar pencapaiannya masih terlalu rendah? Salah satu penyebab yang terpenting adalah rendahnya perhatian dan komitmen pemerintah yang diberikan selama ini. Di samping itu, terdapat persoalan internal dan eksternal yang secara struktural masih menjadi kendala.

Permasalahan internal yang dimaksud antara lain, tingkat pemanfaatan sumber daya, teknologi dan manajemen yang rendah disertai dengan tingkat kemiskinan serta keterbelakangan masyarakat pesisir dan lautan yang masih meluas. 

Kemudian juga ada permasalahan yang bersifat eksternal. Umumnya karena kebijaksanaan ekonomi makro (political economy), antara lain kebijakan moneter maupun fiskal yang belum mendukung pembangunan berbasis kelautan dengan masih tingginya suku bunga, maupun belum adanya suatu program serius berupa kredit lunak untuk sektor kelautan.

Selain itu, faktor BBM sangat meresahkan sektor kelautan, khususnya para nelayan. Tingginya harga solar sangat memberatkan para nelayan untuk meraup penghidupan di laut, sementara harga ikan tidak ada perubahan di pasaran. Di berbagai daerah seperti di Pacitan, Lampung, Pekalongan, Sulawesi, Maluku, Muncar Banyuwangi dan beberapa tempat lain ditemukan adanya kapal-kapal yang mangkrak dan tidak dioperasikan. Alasannya tingginya harga BBM. 

Aspek lain yang menjadi hambatan dan kendala adalah sistem hukum dan kelembagaan yang lemah. Sanksi hukum bagi perusak lingkungan dan pelaku penangkapan ikan secara ilegal masih dinilai sangat lemah dan tidak konsisten.

Selanjutnya, aspek ekonomi politik lainnya yang turut menghambat kinerja pembangunan kelautan adalah birokrasi yang kebanyakan masih memiliki etos kerja sangat rendah serta sarat KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme). Perilaku sebagian besar pengusaha yang hanya memburu keuntungan (rent seeker) kurang atau bahkan tak memikirkan kemajuan dan kemandirian bangsanya.

Hal lain yang membuat sektor maritim kita tidak cantik, dapat dilihat pada antara kelompok pelaku pembangunan kelautan besar dan komersial dengan kelompok usaha kecil dan sub sistem (sektor tradisional) yang jumlahnya jauh lebih besar. Kurang terjadi sinergi bahkan cenderung saling mematikan.

Dengan potret dan pencapaian seperti itu, walaupun pertumbuhan sektor ekonomi berbasis kelautan cukup tinggi dan sumbangan yang diberikan PDB meningkat dari tahun ke tahun. Tetapi hal itu akan membuat lebih dari 50% nelayan, pembudidaya ikan dan masyarakat pesisir malah terjebak dalam kemiskinan.

Akankah generasi saat ini akan mewariskan kepada generasi penerus suatu keadaan ekosistem pesisir dan kelautan yang rusak dan terkuras habis seperti halnya hutan? Saya mengajak kepada semua pihak untuk “berjamaah” memperhatikan dan memoles cantik sektor kelautan yang menjadi kunci kekayaan bangsa.

Pengembangan “teknologi kelautan” secara terus menerus merupakan modal tercapainya kesuksesan dunia maritim. Dalam hal peningkatan teknologi kelautan, maka pemerintah sebagai pengambil kebijakan tertinggi serta peranan perguruan tinggi sangat signifikan dan akan menjadi kiblat teknologi kelautan di Indonesia pada khususnya.




M.Badrus Zaman

Dosen Teknik Sistem Perkapalan ITS Surabaya

Sedang menempuh S3 (PhD) di Maritime Engineering Kobe University-Japan
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. AGAM EXTENSION - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger